Terima Kasih atas Doanya!

SAM_4499
foto diambil ketika penerbangan pergi ke Bali

Saya termasuk orang yang paling suka menggunakan transportasi pesawat terbang untuk urusan traveling ke luar kota, meski hal itu jarang saya lakukan beberapa tahun belakangan ini. Saya juga penikmat rancangan bangunan bandar udara. Banyak spot menarik di Bandara untuk foto-foto atau sekedar jalan-jalan. Saya juga sering memperhatikan para pengunjung yang sedang mengucapkan kata perpisahan atau yang sedang memberi pelukan selamat datang untuk keluarga dan orang terdekat mereka. Bandara memang jadi tempat berpisah sekaligus tempat bertemu kembali bagi banyak orang.

Pesawat memang telah jadi kendaraan yang masih paling aman untuk traveling jarak jauh. Kendaraan ini masih tercatat mempunyai angka minim kecelakaan dibandingkan angka kecelakaan di jalur darat. Namun sekalinya mengalami kecelakaan, burung besi ini bisa merenggut banyak nyawa sekali jatuh.

Saya memang baru saja pulang dari liburan akhir tahun di Bali dengan menggunakan jalur pesawat terbang. Saya mengalami kejadian cukup menegangkan pada penerbangan saya dengan rute Denpasar-Jakarta. Saya memang mengambil jadwal penerbangan siang saat itu. Tidak ada hal yang membuat saya kwatir, bahkan cuaca siang itu sangat cerah. Saya pikir penerbangan kali ini akan sama dengan penerbangan berangkat.

Pesawat kami take off dengan mulusnya tanpa mengalami kendala apapun. Beberapa menit penerbangan awal di udara terasa sangat mulus. Sampai beberapa menit kemudian, pesawat kami tiba-tiba turun mendadak yang membuat smua penumpang refleks berteriak. Saya pun ikut berteriak karena kaget tiba-tiba pesawat melakukan gerakan turun mendadak. Saya langsung memegang tangan adik saya yang berada di sebelah saya, adik saya pun membalas menggenggam tangan saya yang sudah keringat dingin. Lampu tanda seat belt menyala. Pilot langsung memberitahukan bahwa pesawat kami sedang mengalami cuaca yang buruk dan menyuruh penumpang agar tetap berada di kursinya.

Beberapa lama kemudian pesawat kami tetap mengalami naik turun dan kondisi miring kanan kiri sedikit seperti dalam keadaan tidak stabil. Saya makin pucat dan tidak berhenti berdoa karena panik. Saya begitu heran karena cuaca di luar sangat cerah, hanya saja saya bisa merasakan angin diluar begitu kencang. Saya masih tetap menggenggam tangan adik saya saat itu.

Pesawat stabil beberapa menit setelahnya namun pesawat kami mengalami turbulensi lagi dan tanda seat belt pun menyala lagi. Saya makin tak berhenti berdoa, bahkan saya bingung apa yang saya katakan karena saat itu mulut saya seperti berbisik begitu cepat. Adik saya mencoba menenangkan saya namun tetap saja pikiran saya melayang ke hal-hal buruk yang bisa saja terjadi.

Semua penumpang dalam keadaan diam di kursinya, tidak ada satupun yang berbicara. Satu-satunya yang masih terlihat ceria hanyalah anak kecil di sebrang bangku saya yang sedang dipangku oleh ibunya. Anak tersebut tampak kegirangan dan sesekali menaikkan turunkan badannya seolah-olah mau bermain ayunan. Saya masih tetap tegang sambil berdoa. Pikiran saya mulai memikirkan hal-hal lain seperti iman sebiji sesawi dan angin ribut di danau, kisah-kisah yang saya baca dalam Alkitab. Kisah tentang iman biji sesawi yang bisa memindahkan gunung serta Tuhan yang bisa meredakan angin ribut di danau dalam sekejap. Saya juga berdoa di dalam hati dengan tujuan untuk bernegosiasi dengan Tuhan, tolong jangan panggil saya sekarang. Saya juga membayangkan seandainya saya ga sampai dengan selamat. Saya juga mulai membayangkan wajah keluarga dan orang-orang terdekat saya jika hal itu kemungkinan terjadi.

Setelah cukup lama mengalami turbulensi, pilot memberitahukan bahwa kami akan segera bersiap untuk landing. Saya langsung menghembuskan nafas lega. Ketegangan saya mulai berkurang, adik saya pun mulai senang karena saya mulai tenang. Saya mulai berhenti berdoa dan menantikan pemandangan awan di luar jendela pesawat berganti menjadi sebuah daratan. Karena tidak sabar ingin cepat mendarat, saya sampai nanya ke Bapak di sebelah saya yang duduk tepat di sebelah jendela pesawat.

 

“Pak, daratannya sudah kelihatan belum?”

“Belum, mungkin sebentar lagi. Oh ya Mbak, terima kasih ya buat doanya. Saya tadi sudah takut setengah mati.”

Bapak tersebut mengucapkan terima kasih sembari menjabat tangan saya. Saya kaget sekaligus bingung ketika bapak tersebut menjabat tangan saya sembari mengucapkan terima kasih atas doa saya. Padahal saya berdoa dengan kalimat tidak jelas dan dengan suara yang kecil tapi bapak ini malah mengucapkan terima kasih. Padahal saya sudah panik bahkan sempat nangis sebentar ketika pesawat mendadak mengalami turbulensi.

“Saya juga sudah takut pak sebenarnya tadi. Bapak darimana asalnya?

“Saya dari Denpasar mau ke Jakarta, daerah Tanah Abang.”

Beberapa saat kemudian pesawat kami sudah landing dengan mulus di Bandara Halim Perdana Kusuma. Saya pamitan dengan bapak yang tadi duduk di sebelah saya, sambil membawa tas kecil saya keluar pesawat. Saya kebetulan bertemu dengan pilot pesawat tersebut ketika melalui pintu depan pesawat. Saya langsung mengucapkan terima kasih kepada pilot tersebut karena kami sampai dengan selamat, pilot itu pun membalas ucapan saya sambil tersenyum.

Ketika kaki saya menyentuh tanah, ada rasa syukur yang luar biasa di hati saya. Tangan saya masih dingin pasca panik ketika di pesawat tadi namun saya bersyukur saya dan adik saya bisa pulang dengan selamat. Sesampainya saya di rumah saya masih ga mood mau makan. Adik saya dengan santainya bisa cepat move on dan selalu bilang ke saya “yang penting kita udah sampai rumah selamat.” Saya sampai sempat kesal kenapa saya ga sesantai adik saya dalam menghadapi kejadian tersebut.

Saya sempat cerita ke mama saya kejadian yang saya alami siang itu saat penerbangan pulang. Mama saya ngerti saya itu sangat sensitif orangnya. Mama saya juga pernah mengalami hal lebih menegangkan waktu dia naik pesawat di cuaca yang hujan sepanjang hari. Kejadiannya justru lebih serem lagi yaitu ga bisa turun di Bandara Soekarno Hatta karena landasannya banjir, sehingga pesawat yang ditumpangi sampai harus pergi ke dua bandara lainnya agar punya tempat untuk mendarat sementara. Saya cuma bisa diem aja denger ceritanya Mama saya karena ga bisa bayangin kalo ngalamin hal kayak gitu. Mama saya tetap mengingatkan saya tentang satu hal, yaitu kita bisa dipanggil kapan saja.

“Gak pa pa turbulensi itu biasa tapi ingat kalau kita dipanggil kapan pun itu kita harus udah siap dan berserah sama Tuhan”

Saya mengiyakan meski jujur pikiran akan menuju kematian masih membuat saya takut. Bukan kematiannya yang menyeramkan tapi take off-nya yang menyakitkan. Saya juga sempat teringat salah satu rekan kerja saya yang sekarang sudah menjadi pramugari sebuah Maskapai Penerbangan. Saya cerita tentang kejadian yang saya alami ke teman saya itu via whatsaap, saya juga menanyakan kabar dirinya apakah dalam keadaan baik. Nasehat teman saya itu cuma satu yang penting berdoa.

“Gak pa pa mah itu biasa Mon, yang penting kita sudah doa”

Malamnya tentu saya ga bisa tidur. Saya masih teringat kejadian di pesawat waktu itu. Saya bersyukur masih sampai dengan selamat di rumah. Bagaimanapun juga cuaca kadang tidak bisa ditebak perubahannya. Apapun yang terjadi di udara tidak pernah kita bisa sepenuhnya diprediksi. Kapan kita dipanggil pun kita tidak bisa mengetahuinya, itu adalah salah satu waktu yang hanya diketahui oleh Tuhan.

Saya termenung malam itu sebelum akhirnya saya bisa tertidur juga. Ucapan bapak di sebelah saya masih saya ingat jelas, “Terima kasih ya Mbak buat doanya”. Padahal doa saya sudah tidak jelas dan sudah tidak karu-karuan. Padahal sebenarnya saya pun berdoa dalam ketakutan karena saya selalu berpikir bahwa Tuhan sangat susah ditebak pikiran-Nya. Kadang saya sendiri juga bertanya untuk apa bapak itu berterima kasih hanya untuk sebuah doa. Saya tidak tahu bahwa doa dalam ketakutan saya justru Tuhan pakai untuk menguatkan seseorang yang bahkan tidak saya kenal. Saya rasa memang kita tidak akan pernah tahu hal apa yang Tuhan pakai di hidup kita untuk memberkati orang lain. Thanks God, we have arrived home safely!

21/12/2016

Safe and Sound

5 thoughts on “Terima Kasih atas Doanya!”

  1. Saya juga paling suka naik pesawat tapi paling takut kalau pesawat kena turbulensi begitu.. Tapi emang kekuatan doa ga ada tandingannya, apalagi kalo lagi dalam keadaan yang sangat sulit. God is good all the time. Terus berpengharapan dalam Yesus ya mba 😀

    See me on nopipon(dot)com

    1. Haloo noviaa..sama banget paling suka naik pesawat tp paling takut turbulensinya hehehhe…iya satu-satunya yang bisa dilakukan ketika berada dalam posisi darurat yang tidak bisa kita kontrol cuma doa. Thank Nov sudah mampir. Gbu 🙂

  2. Dulu aku pun pernah mengalami turbulensi parah waktu ke Cina, itu serem abis karena perjalanan jauh & hanya bisa pasrah… Syukur alhamdulillah Mona sehat selamat sampai rumah ya 🙂

    1. Mbakk sann seremm bgttt pas ke tmpt yg jauh ngalamin turbulensi..aku pasti ga kuat di dalam pesawat hiksss, tp bener kalau udah di pesawat cuma bisa pasrah dengan Tuhan dan pilot aja, ga bisa ngapa2in juga. Iya mbak, bersyukur bgt sampai dengan selamat di rumah 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *