Ntah mengapa saya menulis malam ini. Rencana tulisan yang akan saya tulis sebenarnya lebih ke event report minggu lalu, namun karena materinya cukup banyak jadi saya putuskan untuk menyusun artikel tersebut besok saat pikiran saya lebih fresh. Memang ketika menulis di malam hari saya lebih banyak menulis tentang apa yang saya pikirkan dan apa yang saya rasakan, mungkin bagi orang lain hal itu ga penting namun bagi saya hal tersebut penting.
Akhir-akhir ini memang banyak yang jadi beban pikiran saya, banyak hal juga yang kadang saya sesalkan salah satunya pernah menolak dua tempat kerja yang saya idamkan karena saya masih ragu untuk kembali ke profesi saya yang dulu. Banyak ketakutan sebenarnya dari segi waktu, tenaga, dan pikiran. Memang profesi saya yang dulu termasuk profesi yang berat dan tekanan kerjanya tinggi. Saya sampai di tahap bertanya pada diri saya sendiri, saya sebenarnya mau apa sih? Terakhir saya malah bingung sendiri menjawabnya.
Banyak keraguan saya memang terkait beberapa peristiwa yang dulu pernah saya alami. Saya selalu berharap saya bisa melegakan semuanya suatu saat nanti. Saya juga berharap saya bisa bangun lagi dengan penuh harapan dan dalam kondisi siap walaupun tujuan saya kelihatan remang-remang. Tanpa sadar saya sebenarnya ragu dengan tulisan tangan sang Pencipta. Setiap saya berdoa sering saya sisipkan kalimat “duh, Tuhan, saya capek…”, saya pun bingung mengapa saya begitu letih dalam pikiran padahal hari esok bukanlah sesuatu yang bisa saya rangkai sendiri. Saya juga merasa tidak excited lagi dengan apa yang terjadi di depan.
Kalau saya ngomel hanya saya yang mengalami kejenuhan ini tentunya tidak. Banyak yang mengalami kejenuhan dalam hidup dan krisis umur pertengahan. Saya beruntung, teman-teman dekat saya selalu mengingatkan saya untuk bersabar dan jadi tempat berpulang saya ketika saya sedang down, sisa-sisa kesedihan saya tentu cukup saya simpan sendiri karena sangat privasi.
Ketika saya mengalami masa down yang parah saya lebih memilih sendiri karena saya rasa tidak semua orang mengerti tentang apa yang saya rasakan dan alami. Kesendirian justru membuat saya menghargai diri saya sebagai seseorang. Saya lebih menghargai emosi saya termasuk emosi kemarahan, kegalauan, kecemasan dan tangisan. Saya sampai bingung mengapa hanya perasaan bahagia yang mendapat tempat istimewa? Saya justru lebih merasa seperti seorang individu ketika semua emosi bisa saya rasakan.
Tidak ada gunanya juga menurut saya memaksakan diri untuk happy di saat sedang down. Saya tidak ingin jadi pengecut yang tidak bisa menghadapi kekecewaan dan kesedihan saya sendiri padahal semua emosi tersebut adalah pemberian dari sang Pencipta. Saya sedih, saya marah, saya kecewa ntah apalagi ungkapan kalimat yang bisa menggambarkan perasaan saya ketika sedang down. Saya harap ini pun bagian dari jalan yang Tuhan tentukan sehingga hari-hari yang saya alami bukanlah sesuatu yang sia-sia.
Mungkin saya kurang berserah kepada yang Maha Kuasa. Mungkin saya sudah jarang membisikkan mimpi-mimpi saya lagi ke telingaNya saat saya sedang berdoa. Suatu saat mungkin Tuhan akan menjawab doa-doa saya atau mungkin Ia akan menjawab dengan cara lain yang lebih baik untuk saya.
Serenity Prayer has been my favorite all time prayer. I speak this prayer whenever I feel down and sad. I know this prayer from Staying Strong book by Demi Lovato. She said “those whose recovering use this prayer on daily basis, but what truly amazing about it is that you don’t have to recovery to speak these words” (Demi Lovato, 2013)
Serenity Prayer
God grant me the serenity
to accept the things I cannot change;
courage to change the things I can;
and wisdom to know the difference.
Living one day at a time;
Enjoying one moment at a time;
Accepting hardships as the pathway to peace;
Taking, as He did, this sinful world
as it is, not as I would have it;
Trusting that He will make all things right
if I surrender to His Will;
That I may be reasonably happy in this life
and supremely happy with Him
Forever in the next.
Amen.
–Reinhold Niebuhr