The Life Lesson I learned When I’m turning 26 years old

blue26years

Tidak seperti biasa saya kurang excited menyambut ulang tahun saya kali ini. Entahlah namun sejak umur 23 tahun dan seterusnya saya kurang excited tentang hidup dibandingkan ketika saya masih lebih muda dulu *tuabangetsekarangyak. Biasanya saya menulis artikel edisi ulang tahun tepat sehari sebelum hari H, ntah mengapa artikel kali ini saya buat dua minggu sebelum saya ulang tahun dan masih saya revisi sehari setelahnya. Jadwal terbit tulisan ini telat sehari, harusnya saya publish tanggal 3 Desember kemarin bertepatan dengan hari ulang tahun saya, namun karena seharian itu saya lagi ga mood dan lupa revisi lagi, jadi tulisan ini baru saya publish hari ini.

Bersyukurnya sehari setelah saya ulang tahun, mood saya berangsur-angsur membaik sehingga saya melanjutkan lagi tulisan ini. Setiap ulang tahun memang saya khusus membuat tulisan apa saja pelajaran hidup yang saya dapatkan selama setahun ini. Meski sempat revisi sana sini akibat mood yang tidak stabil akhirnya tulisan ini selesai juga. Tulisan ini sebagai reminder bagi saya sendiri menjelang umur 26 tahun dan juga sebagai sharing hidup kepada para pembaca blog. Enjoy my post guys!

  1. Bersyukur bahwa Tuhan masih mengasihi saya

Selama perjalanan hidup saya, baru kali ini saya melakukan pemberontakan kepada yang Maha Kuasa. Berkali-kali saya selalu memutuskan dengan pikiran saya sendiri daripada membiarkan Tuhan membimbing saya. Baru kali ini saya merasa begitu letih untuk dituntun dan untuk berserah. Banyak hal yang saya yakini nampaknya bukanlah sesuatu yang nyatanya terjadi di dalam hidup saya. Saya bersyukur ketika berkali-kali memberontak dan mengandalkan diri sendiri, Tuhan masih menyertai dan mengasihi saya, tanganNya tetap meraih saya meskipun mungkin beberapa kali saya memberontak. Saya mungkin tidak bekerja kantoran dan penghasilan dari usaha serta blog tidak tetap bahkan kadang kurang namun saya masih dicukupkan olehNya.

  1. Keluarga adalah hal paling penting

Saya ingat betapa lelahnya saya ketika menghadapi deadline kantor dulu sampai beberapa kali saya sempat jatuh sakit karena terlalu letih. Ketika saya jatuh sakit, keluarga sayalah yang merawat saya sampai saya sembuh. Detik itu juga saya sadar bahwa keluarga adalah hal paling penting dalam hidup saya, ga bisa kebayang kalo saya ga punya siapa-siapa di dunia ini. Keluarga bahkan lebih penting dari rekan-rekan kantormu, teman nongkrongmu, ataupun teman-teman persekutuanmu sekalipun. Sering kali ketika kita sibuk dengan pekerjaan dan pergaulan kita, keluarga jadi terlupakan, padahal keluargalah yang membantu kita di saat kita sedang kesusahan.

  1. Media social yang selalu membingungkan

Hidup di era digital sebenarnya lebih memicu kesalah pahaman antar manusia. Semua orang membagikan semua hal tentang hidupnya di media social bahkan ada yang sampai mengumbar hal paling privasinya. Memang akan selalu ada dampak buruk dan dampak baik dari media social semua itu tergantung bagaimana kita menyikapinya dengan bijak. Semua informasi sekarang begitu cepat untuk diakses dan untuk dibagikan namun begitu juga bisa dengan cepat dipelintir dan dibumbui dengan berbagai macam hasutan. Bahkan banyak yang sudah menganggap media social seperti kehidupan nyata sehingga segala informasi ditelan mentah-mentah tanpa di teliti terlebih dahulu. Media social hanyalah media social, tidak semua hal yang orang lain bagikan, menggambarkan seluruh realita di dunia nyata. Ga mungkin juga kan kita upload foto selfie ketika kita lagi nangis ke instagram, it’s a weird thing. Coba bayangin kalo tiba-tiba listrik mati tentunya social media lenyap dengan seketika bukan 🙂 . So don’t lean on it too muchbecause when electricity and wi-fi shut down, the social media will also disappear.

  1. Lingkaran pertemanan kita menjadi kecil namun berisi teman-teman yang terbaik.

I might meet and know a lot of people but that doesn’t mean they are my close friends. Sebagai makhluk social, kita akan selalu mencari cara untuk berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan yang lain. Sebagai blogger pun saya bertemu banyak sekali orang di berbagai event namun bukan berarti semuanya langsung jadi teman dekat saya. Saya kehilangan beberapa teman yang tadinya akrab dengan saya namun hal ini bukan berarti sesuatu yang negatif. When we talk about friendship, it is not about the numbers and size anymore, it’s more about how they affect me for good reasons. Saya juga bersyukur atas teman-teman lama saya yang masih bertahan sampai sekarang, they also my precious gifts.

  1. Semakin dewasa maka semakin saya menghargai sebuah privasi

Update banyak hal di social media bukan berarti saya tidak menghargai sesuatu yang privasi. Percayalah ketika saya sedang bersama keluarga dan teman-teman terdekat saya ga asik unggah foto setiap saat. Kehidupan di social media saya bedakan, sama seperti kehidupan kerja, bukan seluruh hidup saya share lewat media social. Saya justru menghargai momen-momen yang sangat privasi dan juga lebih sedikit sharing hal yang terlalu personal di blog atau social media. Saya pun mulai menghargai ketika seorang teman dekat saya enggan bercerita beberapa masalahnya karena mungkin terlalu pribadi untuk di ceritakan ke orang lain.

  1. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang

Ketika berbicara tentang kebahagiaan dan standard bahagia hidup, semua orang punya versinya masing-masing. Standard bahagiamu belum tentu menjadi standard bahagia orang lain. Mustahil untuk memenuhi semua standard bahagia versi semua orang, jadi pastikan standard yang kamu penuhi adalah standard bahagia versimu.

  1. Kesempurnaan adalah musuh terbesar di dalam hidup

Ada dua hal yang baru saya pahami menjelang umur 26 tahun bahwa kesempurnaan adalah musuh terbesar bagi hidup saya. Fokus pada kesempurnaan telah membuat saya terlalu idealis sehingga saya ga mau menerima sesuatu yang tidak sesuai standard saya sama sekali. Saya juga jadi malas melakukan sesuatu karena saya pikir ujung-ujungnya tidak menghasilkan sesuatu yang sempurna menurut pemikiran saya. Dua-duanya mempunyai efek senjata makan tuan bagi hidup saya. Lagipula untuk apa berfokus kepada kesempurnaan hidup jika pada akhirnya saya sama sekali tidak bisa menikmati hidup yang dijalani.

  1. Meminta pertolongan bukan berarti saya lemah

Saya masih ingat betapa bencinya saya ketika harus mengandalkan bantuan orang lain. Saya tipe yang paling ga suka harus mengandalkan orang lain. Saya bahkan kesel dengan diri saya sendiri yang sering dikit-dikit curhat dan dikit-dikit nanya ke orang, meski sekarang kebiasaan itu sudah mulai saya kurangi. Saya juga ga suka di ungkit-ungkit kalo ga bisa apa-apa dan seolah-olah saya tuh bisa karena bantuan orang lain. Sampai akhirnya saya mengalami sesuatu hal terkait kondisi mental saya yang mengharuskan saya untuk mencari bantuan pihak lain. Presepsi saya mulai perlahan-lahan berubah. Pada titik tersebut saya baru sadar bahwa meminta bantuan orang lain bukanlah suatu kelemahan, justru sebuah tanda bahwa kamu cukup dewasa untuk tahu bahwa dirimu perlu ditolong.

  1. Menerima bantuan orang lain bukan berarti saya lemah

Hal kedua yang saya paling ga saya suka selain meminta bantuan orang lain yaitu menerima bantuan orang lain. Saya selalu merasa saya bisa melakukan semuanya sendiri, kalau saya menerima bantuan orang lain rasanya kayak saya butuh banget dikasihani, kesannya kayak saya lemah banget gitu. Saya akhirnya sadar bahwa tidak menerima bantuan orang lain bisa dikategorikan sebuah kesombongan. Selama pemberian tersebut tulus untuk membantu dan bukan mengandung unsur sogokan dan niat lain, saya belajar untuk menerima bantuan tersebut, mana tau memang Tuhan menolong saya melalui bantuan orang tersebut.

  1. Berani bermimpi lagi

Menginjak usia 26 tahun saya sering mempertanyakan tentang mimpi saya. Bahkan saya sempat mikir emangnya saya masih punya mimpi ya hehehe, karena terlalu apatisnya. Saya memang merasa lebih realistis dibandingkan ketika saya masih kuliah dulu, supaya ketika kenyataan tidak berjalan semulus yang saya kira, saya ga kecewa amatlah dengan hidup. Tidak berani mempunyai mimpi ternyata membuat saya kebingungan sendiri. Saya ga tau pasti apa yang saya mau atau apa yang akan saya tuju. Saya baru tahu betapa berharganya mimpi ketika saya merasa hidup saya mulai hambar tanpa tujuan.

  1. Apa yang ada di dalam dirimu lebih berharga

Besar dengan orang tua yang berada di generasi IQ adalah segalanya, jadi sesuatu yang sulit bagi saya. Sampai saya sadar bahwa pekerjaan yang bagus, IQ yang tinggi, prestasi yang gemilang, tidak ada gunanya dibandingkan apa yang ada di dalam diri kita. Setiap individu tetap berharga tanpa atribut-atribut prestasi dan segala macam pencapaian.

Beberapa hari yang lalu saya mendengar speech dari Selena Gomez ketika ia menerima sebuah penghargaan, betapa terkejutnya saya ketika kalimat ini justru keluar ketika ia berpidato. Betapa hancurnya dirinya padahal ia mempunyai segalanya. Pidato Selena menjadi sebuah peringatan bagi saya dan mungkin semua orang yang mendengarnya bahwa apa yang ada di dalam diri kita lebih penting dari segala hal yang kita punya.

“I had to stop. Because I had everything, and I was absolutely broken inside. And I kept it all together enough to where I would never let you down, but I kept it too much together to where I let myself down. I don’t want to see your bodies on Instagram. I want to see what’s in here.” – Selena Gomez

  1. Sedikit berbicara dan lebih banyak mendengar

Tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik. Saya baru menyadari bahwa mendengarkan merupakan sebuah anugerah tersendiri, karena tidak semua orang mempunyai ketulusan untuk mendengarkan orang lain. Tidak semua orang punya perkataan yang bisa membangun dan meneduhkan jiwa orang lain. Kelihatannya seperti anugerah yang sepele lho dibandingkan anugerah lain yang terlihat wahh, namun tidak demikian jika kita melihat dampaknya. Saya sampai sekarang masih belajar untuk menjadi pendengar yang baik daripada cepat berkomentar.

  1. Bersyukur untuk pintu-pintu yang tertutup

Dulu saya suka kesel jika doa saya tidak dijawab atau kesempatan yang saya ambil malah gagal, namun sekarang saya bersyukur untuk pintu-pintu dan doa-doa yang Tuhan sendiri tutup. Kita seringkali bahagia ketika doa kita di jawab namun kita lupa bahwa doa yang dijawab dengan kata TIDAK merupakan anugerah Tuhan sendiri untuk melindungi kita dari sesuatu yang berakibat buruk. Jika pintu atau keinginan kita di tutup itu berarti Tuhan masih melindungi kita.

  1. Menjadi single adalah anugerah

Ketika saya sendiri sudah move on dari segala jenis dongeng percintaan, prince charming, dan segala jenis panjang lebar lika-liku pergumulan pasangan hidup, baru di titik ini saya bersyukur bahwa saya masih single. Percayalah, menjadi single di usia emas dimana semua teman-temanmu bergantian memulai hidup berumah tangga bukanlah sesuatu yang mudah. Saya juga sempat mengalami trauma dalam hubungan dengan lawan jenis, namun hal tersebut justru membuka mata saya, betapa bersyukurnya saya menjadi single. Saya bisa melakukan segala macam kegiatan tanpa perlu permisi terlebih dahulu. Saya juga ingat dulu nenek saya menikah karena di jodohkan oleh keluarga, di usia yang masih sangat muda hingga beliau harus putus sekolah. Saya dan wanita lainnya di luar saya mungkin lebih beruntung hari ini untuk bisa memilih menikah dengan siapa dan di usia yang berhak kita tentukan sendiri.

  1. Berdandan untuk menjadi lebih cantik bukanlah sebuah dosa

Saya ingat betapa saya bahagia ketika pertama kali ikut kelas dandan. Betapa saya menikmati momen mendadani diri saya dan berpakaian serapi mungkin untuk berpergian. Merias diri untuk menjadi cantik dan layak dipandang bukanlah suatu dosa. Semua wanita berhak untuk merasa dirinya cantik dengan riasan wajah dan baju yang bagus. Hal ini bukan berarti saya selalu tampil dengan make up. Saya yakin dengan atau tanpa make up semua wanita berhak untuk merasa dirinya cantik. Merias diri merupakan bentuk perhargaan kita terhadap diri kita untuk tampil secantik yang kita inginkan dan bukannya sebuah tindakan untuk menarik atau memukau kaum pria.

  1. Bahagia dimulai dari dalam diri kita sendiri

Saya sempat membaca salah satu tulisan Olivia lazuardy yang berjudul TO MY FELLOW SISTERS ; BEING HAPPY IS NOT SELFISH . Tulisan tersebut membuka mata saya tentang arti kebahagiaan. Kita mungkin diajarkan untuk mengutamakan kebahagiaan orang lain lebih dari kebahagiaan kita, padahal semua orang punya tanggung jawab sendiri terhadap kebahagiaannya. Saya ingat bagaimana teman saya mengatakan kepada saya betapa pelitnya saya jika saya tidak membagi bekal makanan saya atau ketika tidak segera meminjamkan barang berharga saya dengan segera. Selalu berkata iya untuk membuat orang lain bahagia justru membuat kita melakukan hal yang tidak kita inginkan, pergi ke acara yang tidak kita mau, menjawab percakapan yang sebenarnya tidak kita inginkan. Semua itu terjadi karena kita takut melukai hati orang lain.

Kebahagiaan sejati dimulai dari apa yang kita rasakan secara internal baru kemudian menjadi eksternal atau mengalir ke orang lain. Jika kita sendiri tidak bahagia bagaimana mungkin kita bisa mengalirkan kebahagiaan itu ke orang lain. Penting untuk menjadi bahagia dari dalam agar kebahagiaan itu bisa mengalir ke orang lain

  1. Saya selalu punya hak untuk berkata TIDAK!

Setahun kemarin menjadi tahun latihan bagi saya untuk mengatakan TIDAK pada apapun yang menurut saya tidak sesuai dengan hati nurani saya. Saya sering merasa bersalah dengan mengatakan TIDAK apalagi sesudah mengatakan tidak, orang yang kita tolak memperlihatkan ekspresi kecewa, menyindir atau lebih parahnya mengatakan kalau kita sombong. Saya membiasakan diri untuk mengatakan TIDAK tanpa perlu merasa bersalah, karena mengatakan TIDAK adalah hak penuh saya sebagai seorang individu.

  1. Saya punya hak untuk berkata IYA!

Sebagai seseorang yang mempunyai kecemasan berlebih, sulit bagi saya mengatakan IYA. Hal tersebut karena saya sering terpengaruh pemikiran orang lain. Belum lagi selalu saja ada perkataan orang lain bahkan orang terdekat saya yang membuat saya ragu untuk berkata IYA.

Mengatakan IYA merupakan hak saya sebagai seorang individu. Saya juga sering takut mengatakan IYA kepada sebuah kebahagiaan yang ditawarkan oleh orang lain kepada saya. Mengatakan IYA untuk kebahagiaan saya sendiri menjadi suatu beban, karena saya takut menyesal di kemudian hari, sampai saya sadar ketika saya tidak mengunakan hak saya berkata IYA berakibat penundaan untuk sebuah kebahagiaan yang seharusnya berhak saya terima saat itu.

  1. Memaafkan orang lain untuk menerima kedamaian hati

Selama setahun lebih saya sering merasa susah untuk memaafkan orang lain, ntah mengapa semakin saya dewasa saya semakin sensitif dengan segala sesuatu. Tidak memaafkan orang lain ternyata seperti memendam bara api yang akhirnya malah menghanguskan diri kita sendiri. Memaafkan adalah kunci untuk terciptanya kedamaian hati, meski saya akui hal ini masih susah saya lakukan.

  1. Rejeki tidak akan tertukar dan bahkan kadang tidak terduga sama sekali

Sering kali kita iri dengan melihat orang lain mendapatkan berkat tidak terduga apalagi berkat itu adalah hal yang kita nanti-nantikan. Sebenarnya kalau soal rejeki saya ga muluk-muluk, saya ga mau iri sama orang lain yang dapat rejeki lebih karena saya yakin Tuhan sudah menetapkan setiap rejeki/berkat tiap orang dengan adil menurut pandanganNya. Lagipula siapa sih saya yang bisa menilai adil tidaknya setiap rejeki yang diterima oleh orang lain. Beberapa berkat tidak terduga juga saya alami di tahun ini. Percaya deh, Tuhan selalu punya cara untuk selalu bikin kita kaget dengan berkat-berkatnya asalkan kita berserah penuh.

  1. Belajar mencintai tanpa beban

Topik ini agak sedikit galau sih cuma saya ga akan frontal-frontal amat untuk topik yang satu ini. Sering kali ketika saya mencintai seseorang atau sesuatu, saya merasa beban berlebih di pundak saya. Beban untuk mengikat dan memiliki sesuatu yang saya cintai padahal semua hal itu bukan milik saya, segala hal di dunia ini hanyalah titipan yang bisa sewaktu-waktu Tuhan ambil. Saya mulai belajar mencintai sesuatu tanpa beban mau itu seseorang, impian, karir, pekerjaan dan lain-lainnya. Saya ga mau lagi kecewa karena mencintai secara berlebihan yang akhirnya menjadi beban bagi hidup saya sendiri.

  1. Belajar memaafkan diri saya sendiri

Belajar memaafkan diri sendiri kayaknya memang pelajaran seumur hidup. Selalu saja ada hal yang membuat kita menyalahkan diri sendiri entah itu keputusan yang berakhir fatal, kegagalan di masa lalu, sikap keras kepala kita, tidak sengaja melukai orang lain dan sebagainya. Bukan hanya untuk orang lain, mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita tidak sempurna itu perlu. Don’t be hard on yourself!

  1. Belajar untuk menghormati semua bentuk emosi yang dirasakan

Sering kali orang sekitar kita menyeletuk tentang sesuatu hal yang berhubungan dengan ungkapan emosi kita yang berakhir melukai diri kita sendiri. Bahkan tidak jarang hal tersebut mengakibatkan banyak orang dewasa lebih memilih menghampakan perasaannya.

“Gitu aja kok nangis sih”

“Lebay banget sih cuma gitu aja juga”

“Lemah banget sih mentalnya”

Padahal kalau dipikir-pikir lagi, untuk menangis, marah, dan gembira adalah hak setiap orang menurut saya. Mengeluarkan emosi agar tidak terpendam di dalam diri justru lebih baik daripada cuma sekedar stay cool padahal didalamnya memendam bara api. Memendam perasaan negatif dan tidak mengeluarkannya secara bijak hanya akan merugikan diri kita sendiri. Pasti ada maksud Tuhan menciptakan setiap bentuk emosi bagi manusia secara bergantian, meniadakan beberapa emosi hanya membuat emosi kita menjadi tidak seimbang.

  1. Menyadari bahwa kita memiliki keterbatasan sebagai manusia

Manusia mempunyai batas dalam hidup ini, itu sebabnya kita akan sakit jika tidak mengerti batasan dalam tubuh kita. Kita bisa meninggal jika kita tidak tidur dalam beberapa hari. Tidak mengingat bahwa kita sebagai manusia mempunyai batasan seperti menganggap diri kita sendiri adalah Tuhan yang tidak terbatas, nah lhoo, seremm ya hehehe. Saya baru sadar tentang hal ini ketika saya baca postingan salah satu teman Facebook saya yang mengutip kalimat sebuah buku Rohani Kristen. Padahal postingannya simpel yaitu tentang tidur sebagai penyerahan diri kepada Tuhan, tapi itu jleb banget deh di saya yang suka susah tidur maupun sering ngurangin waktu tidur untuk urusan kerjaan.

“..kalau tidur adalah penyerahan diri. Tidur adalah deklarasi iman.Tidur berarti mengakui bahwa kita bukan Allah (yang tidak pernah tidur) dan hal itu adalah hal yg baik. Tidur cukup jg membuat kita lebih segar, lebih kreatif, lebih produktif, lebih bahagia. Tidak memedulikan tubuh juga akan menghambat pertumbuhan rohani.” -The Good and Beautiful God. 2014

Seketika itu juga kutipan tersebut menohok saya. Apalagi saya kuliah di jurusan Teknik Arsitektur dimana jam tidur kadang kacau ketika tugas kuliah sedang banyak-banyaknya. Belum lagi ketika kerja tentu saya pernah mengurangi waktu tidur atau ga tidur sama sekali untuk menyelesaikan kerjaan. Terus saya juga suka kambuh insomnia di malam hari, kurang berontak apalagi coba saya, berasa nyaingin Tuhan aja jadinya.

  1. Belajar untuk tidak meremehkan diri sendiri

Saya sering banget minder, rasanya ga punya talenta apa-apa, kalaupun buat karya, masa sih ada yang mengapresiasi hehehe. Saya belajar satu hal selama setahun ini yaitu ketika kita ragu dengan diri kita sendiri maka kemungkinan orang lain pun akan ragu dengan diri kita. Bagaimana kita bisa menyakinkan orang lain kalau kita aja ga yakin dengan diri kita sendiri, meskipun ini saya akui susah dalam prakteknya hehehe. Susah bagi saya untuk bisa meyakini diri saya bahwa saya bisa. Kalaupun nanti hasilnya tidak memuaskan, yang terpenting saya sudah berusaha sebisa mungkin dengan apa yang saya punya.

  1. Fokus pada solusinya

Akhir-akhir ini dunia pemerintahan kita sedang heboh-hebohnya mengalami banyak isu mulai dari isu penting sampai yang menurut saya yah ga penting-penting amat. Saya dapat pelajaran juga dari semua kondisi heboh yang disiarkan oleh berbagai stasiun tv bahwa fokuslah pada solusinya, jangan hanya sampai di fase kritik.

Bangsa kita ga pernah kekurangan orang yang mengkritik, semua orang bisa memberi komentar dan kritik, apalagi sekarang sudah ada media social sebagai wadah untuk bebas berekpresi. Tapi coba deh kita pikir lagi bahwa perubahan baru terlihat ketika yang punya berbagai solusi menjalankan hasil dari solusinya.

Melihat semua itu saya jadi belajar untuk selalu menyertakan solusi dan saran bersama-sama ketika melayangkan sebuah kritikan. Yak ini bukan kampanye, bukan sama sekali, cuma perenungan ini benar-benar menjadi pelajaran bagi saya sendiri. Jika niat saya mengkritik yang bertujuan membangun ke arah yang lebih baik, berarti paling tidak saya menyertakan saran juga sesudahnya.

Saya ga sangka sih tulisan ini akan jadi lumayan panjang, semoga yang baca sabar untuk membacanya ya hehehe. Saya bersyukur di usia 26 tahun saya masih sehat dan berkecukupan segala sesuatu meski kondisi saya sekarang diluar dari yang saya harapkan. Semoga tahun depan jadi tahun yang lebih-lebih membahagiakan bagi saya..aminnn aminnn.

Sekian 26 hal yang saya pelajari menjelang umur 26 tahun semoga bisa bermamfaat bukan hanya bagi saya namun juga bagi yang membaca tulisan ini. Akhir kata saya ucapkan terima kasih bagi yang sering mampir untuk sekedar membaca tulisan saya, I really appreciate it 🙂 ! See you on my next post!

9 thoughts on “The Life Lesson I learned When I’m turning 26 years old”

  1. Beruntung banget baca ini malem-malem pas lagi galau. Hehe.

    Aku baru 23 Kak Mona, tapi rasanya udah banyak aja beban di pundak. Dari mulai urusan kerjaan di kantor, finansial sampe pusing ditanyain ‘kapan nikah?’. Capeeek. Agak ringan beban rasanya setelah baca ini. Aku harus bahagia dulu, baru bisa ngebahagiain orang lain. Lagian ya ampun 23 masih muda banget buat disuruh-suruh nikah kali kan yaa! :’)

    1. Haloo Intan! kalau urusan disuruh nikah, kayaknya dirimu tak sendiri wkwkwkwk,,daku juga mengalami kok hehehhe. Pastilah kita banyak beban karena umur segitu udah dianggap sebagai umur menuju mapan dan dewasa oleh orang-orang sekitar kita, tapi tetep aja ga mudah mencapai keseimbangan di segala aspek. Bener, kita harus bahagia dulu baru bisa membahagiakan orang lain :D..ayook kita capai list kebahagiaan kita hehehe..semangat ya Intan, don’t think too much nanti malah jadi ga menikmati hidup :)..aku sampai salah ketik nama karena balesnya malam-malam heheh maapp Intan

  2. Hola. You know who I am, don’t you? Thanks ya sist atas sharingnya, pelajaran hidup yang berguna banget buat gw, meskipun gw baru aja menginjak 24, tapi ternyata kenyataan hidup yang pahit sering juga menghampiri gw. Pelajaran hidup paling mengena dari sharing di atas buat gw adalah bahwa (1) kita ga bisa nyenengin semua orang, yang paling penting adalah kita melakukan apa yang benar dan bahagia untuk kita sendiri, dan (2) berani bermimpi lagi meskipun mungkin keadaan kita sekarang belum mendukung kita untuk mencapai mimpi kita, tapi siapa tau 5 atau 10 tahun lagi mimpi kita akan terwujud. hehe. Thank you for being my inspiration on adult life ya sist!
    IG: @marinamargareth

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *