Banyak orang bilang bahwa buku bisa menjadi teman yang baik kapan pun kita butuhkan. Saya masih ingat momen ketika saya sangat terhanyut dengan cerita yang sedang saya baca, seolah olah tiap kata, kalimat, gambar bisa terkoneksi dengan apa yang saya rasakan atau yang saya pernah alami. Saya juga menyenangi membaca buku dalam kesendirian, ketika berada di gerbong kereta yang sedang melaju, ketika berada sendirian di sebuah kedai kopi, atau ketika saya berada di kasur sebelum saya akan terlelap tidur di malam hari. Saya bisa bilang hal tersebut merupakan salah satu momen me time favorite saya.
Saya suka bagaimana sebuah buku membuka dirinya terlebih dahulu. Saya bisa membuka tiap halaman demi halaman, membaca tiap kalimat yang tertulis kemudian beberapa menit setelahnya saya sudah hanyut dengan cerita dari buku tersebut. Sering kali saya menemukan chemistry dengan apa yang diceritakan, seketika itu juga emosi saya bergejolak dan berusaha terkoneksi dengan apa yang baru saja saya baca. Kadang saya juga heran dengan cara sebuah buku bisa mengerti tentang luka, tangisan, benci, kebahagiaan, harapan, marah, dan sesuatu yang tidak saya ceritakan. Hal yang paling utama bagi saya yaitu saya bisa terkoneksi dengan semua emosi tersebut hanya melalui buku tanpa disertai respon langsung yang terkadang tidak perlu.
Ketika seorang Lala Bohang menerbitkan sebuah buku “The Book of Forbidden Feeling”, saya langsung mikir this must be something. Sebenarnya saya sudah penasaran mulai dari postingan-postingan instagram yang mulai mempromosikan buku ini dan juga melalui instagram Mbak Lala sendiri yang membuat hint-hint tentang buku ini. Apalagi buku ini bukan hanya berisi tulisan namun juga berisi karya-karya Mbak Lala Bohang. Saya akhirnya beli buku “The Book of Forbidden Feeling” ketika saya menghadiri workshop Mbak Lala bulan Desember lalu, sekalian supaya saya bisa minta tanda tangan langsung dari penulisnya hehehe.
Saya langsung baca buku tersebut di gerbong kereta api, ketika saya dalam perjalanan pulang ke rumah. Buku ini membuat saya hanyut selama perjalanan. Beberapa halaman mengingatkan saya tentang apa yang pernah saya rasakan dan alami, mimpi, kenangan, kegagalan, dan hal remeh temeh yang tanpa sadar sebenarnya sering ada di pikiran saya namun tidak saya ungkapkan. Karena buku ini berisi tulisan dan gambar hitam putih khas Lala Bohang, setiap orang akan punya interpretasi dan koneksi yang berbeda pada buku ini. Saya terkoneksi dengan kata dan gambar yang sangat erat hubungan dengan pengalaman hidup saya serta apa yang saya rasakan sekarang.
Buku ini mengangkat hal yang selama ini mungkin sering kita tutupi namun kenyataannya tetap kita alami, emosi-emosi negatif yang tidak ditunjukkan ke permukaan, permikiran-pemikiran remeh yang sering kita pikiran namun tidak kita bicarakan bahkan ke teman terdekat kita sendiri. Pada akhirnya semua hal tersebut juga berperan membentuk kita menjadi pribadi seperti sekarang. Buku ini telah menjadi teman di saat saya sedih, galau, cemas, dan gagal tanpa perlu merespon kembali perasaan saya. Buku ini telah membuka dirinya dan membangun koneksi terhadap Forbidden Feeling yang saya miliki serta menyadarkan saya bahwa saya tidak sendirian. Saya menaruh buku ini di samping tempat tidur saya dan telah beberapa hari ini menjadi bacaan favorite saya sebelum tidur. Thank you Lala Bohang untuk buku “The Book of Forbidden Feeling” yang telah menjadi teman dimana saya bisa jujur dengan apa yang saya rasakan.
Humanity needs to be understood by looking within and befriending ourselves as she stated, “This book is meant to be a good friend, the one you can keep by your side, the one you can be honest with.”
Mia Maria, art curator and integrative health enthusiast.
NOTE
This is NOT a Sponsored Post. All things that are written in this blog post are my own opinions and my honest experience. Do not copy my blog or my photos, if you want to use my blog or my photos please ask my permission by email and credit the copy page or image back to my blog.