Saya bukan tipe orang yang bisa mengampuni orang lain dengan baik. Saya bisa berkata seperti itu karena saya suka memendam masalah. Selama ini banyak yang mengira saya terlihat baik-baik saja namun saya orang yang begitu tertutup untuk urusan yang berhubungan dengan perasaan sakit hati.
Saya besar di keluarga yang kaku dengan gaya asuh orang tua yang otoriter. Hal kecil seperti berbeda pendapat dengan orang tua bahkan bisa di salah artikan sebagai bentuk perlawanan terhadap orang tua saya. Padahal sah-sah saja kok punya pendapat yang berbeda. Hal ini juga yang membuat saya membenci tipe kepemimpinan yang otoriter karena membuat saya merasa tertekan secara batin dan mental.
Ketika saya masih kecil, saya tumbuh dalam lingkungan yang penuh kata-kata negatif terhadap diri saya. Banyak perkataan menyakitkan yang saya dapatkan, bahkan dari lingkungan yang terdekat. Semakin saya menginjak dewasa ternyata mengampuni menjadi sesuatu yang sulit bagi saya. Semakin saya dewasa semakin saya juga merasa lebih sensitif, meskipun saya mulai belajar untuk tidak take it personally perkataan setiap orang yang belum tentu membangun.
Baca juga Sunday Thoughts : The Freedom of Taking Nothing Personally by Olivia Lazuardy.
Sebenarnya mengampuni bukan topik hangat yang sering saya ingat dalam hidup, sampai kotbah minggu kemarin di gereja kebetulan adalah tentang mengampuni. Kotbah ini sangat ingin saya lewatkan karena saya tidak ingin mengingat luka-luka lama yang ternyata masih saya simpan. Siapa sih yang mau teringat-ingat lagi dengan kepahitan-kepahitan di masa lalu? Pasti ngak ada kan.
Dalam kotbahnya, Pendeta tersebut menceritakan pengalamannya mengampuni rekan pendeta lain yang sering menjelekkan dirinya. Ternyata hidup dalam kepahitan dan sakit hati bukanlah hidup yang menyenangkan. Ada masa dimana setiap kali pendeta tersebut berdoa rasanya sangat hambar dan kosong, sampai Tuhan menyuruh bapak pendeta tersebut mengunjungi orang yang sudah menyakitinya. Hal yang tidak di duga ternyata terjadi, orang yang dikunjungi justru jadi orang yang menangis duluan untuk meminta pengampunan si pak pendeta. Sejak saat itu hidup pak pendeta mulai berubah menjadi lebih baik. Hubungan pak pendeta dan rekan se-kerjanya itu pun dipulihkan.
Selama kita hidup pasti ada banyak orang yang telah menyakiti perasaan kita. Saya juga pernah mengalami masa dimana ada aja orang yang dengan mudahnya merendahkan saya, menghina karya saya dan menganggap remeh apa yang saya kerjakan, meski saya sudah berusaha sebaik-baiknya. Saya bukan tipe yang meluap-luap secara frontal ketika menghadapi masalah, namun memang emosi saya bisa meledak ketika saya dalam keadaan sangat letih. Saya lebih sering memutuskan komunikasi dan hubungan dengan orang-orang yang menyakiti saya. Saya pikir tidak baik meneruskan hubungan yang tidak didasari oleh rasa saling menghargai satu sama lain. Saya juga merasa butuh jarak dan waktu ketika saya sedang terluka karena orang lain.
“Yang lain mati dengan sakit hati, dengan tidak pernah merasakan kenikmatan” (Ayub 21 :25)
Kok kita yang menderita? kan yang salah dia harusnya dia dong yang menderita. Pertanyaan ini juga muncul ketika kalimat tersebut terlontar dari kotbah minggu lalu. Ternyata orang yang menyimpan dendam dan kepahitan lebih rentan jatuh sakit dan meninggal. Itu sebabnya mengampuni bertujuan untuk menjaga agar kita hidup lebih bahagia dan sehat. Kitalah yang harus melepaskan pengampunan agar hidup kita lebih bahagia.
Saya masih ingat pernah mengalami sakit hati begitu dalam kepada seorang pria dari masa lalu. Saya ga akan panjang lebar menceritakan pengalaman tersebut. Tiga tahun kemudian setelah hubungan kami berakhir dengan masalah, pria tersebut menghubungi saya berkali-kali via sms dan telepon. Saya yang masih shock saat itu tidak membalas satu pun sms atau mengangkat telepon dari pria tersebut. Saya bingung harus merespon seperti apa. Di sisi lain saya masih merasakan sakit hati dan kegeraman di dalam hati saya meski tidak sebesar dulu. Untungnya saat itu sahabat-sahabat terdekat saya terus menerus menenangkan saya. Salah satu sahabat saya juga membujuk saya untuk mengampuni pria tersebut agar saya lebih bisa lega dalam menjalani hidup. Pada akhirnya saya membalas sms pria tersebut dengan singkat, padat dan jelas yang inti dari pesan saya ialah saya sudah mengampuni dia. Saya berharap dia bisa memperlakukan wanita selanjutnya dengan lebih baik.
Butuh perjuangan memang untuk mengampuni seseorang. Sampai detik ini saya masih berjuang untuk mengampuni orang-orang yang sadar atau tanpa sadar telah menyakiti saya. Saya juga mulai rutin berdoa meminta Tuhan untuk memberikan saya kekuatan untuk mengampuni karena sebagai manusia mungkin saya tidak sanggup untuk mengampuni. Saya juga harus menyadarkan diri saya bahwa saya masih ada sampai hari ini semua itu juga karena pengampunan Tuhan.
“Orang yang terluka cenderung melukai orang lain”
Ada satu kalimat menarik dalam kotbah minggu kemarin yaitu orang yang terluka cenderung akan melukai orang lain. Pernah ga sih kita melihat orang yang omongannya suka kasar dan perilakunya cenderung melukai orang lain bahkan dilakukan tanpa sebab tertentu? Pernah ga menemukan orang yang masih mengungkit trauma dan kesalahan orang lain? Saya pernah menemukannya, bahkan saya pernah berada di posisi orang tersebut. Saya jadi sosok yang sangat kasar karena saya sedang terluka sangat dalam saat itu. Itu sebabnya kadang ada orang yang gampang marah-marah ketika sakit hati bukannya malah menangis. Teriakan marah sebenarnya merupakan teriakan kesakitan dari orang itu sendiri.
Sekarang kalau saya lihat orang yang suka marah-marah tanpa sebab dan berkata kasar, saya coba untuk lebih mengerti kondisi orang tersebut. Bisa saja ia memang berasal dari keluarga yang berantakan, lingkungan kerja yang kasar, atau sedang melalui masalah hidup yang berat. Meskipun sebenarnya saya tidak pernah setuju dengan orang yang suka melampiaskan amarah ke orang lain secara membabi buta, saya tetap mencoba bersabar dan mengerti.
“…Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat…” (Lukas 23 : 34)
Orang dewasa cenderung lebih rentan untuk terluka karena hidup dalam banyak tekanan dan tanggung jawab. Meski kita sudah menjadi dewasa tetap saja inner children di dalam diri kita bisa merasakan sakit dan terluka. Saya juga sering melihat orang dewasa melampiaskan amarah dengan kata-kata yang sangat kasar kepada keluarganya, rekan se-kerjanya, bawahannya atau pun orang asing yang ia temui di jalan. Hidup dengan menyimpan luka memang sangat membahayakan bagi orang tersebut maupun bagi sekitarnya.
Saya harap tahun ini saya bisa belajar untuk melepaskan pengampunan lebih banyak lagi untuk diri saya dan orang lain, bahkan tanpa perlu mengharap permohonan maaf dari orang-orang yang telah menyakiti saya. Saya tidak ingin hidup dengan terus-terusan membawa luka. Saya harap artikel kali ini bisa bermamfaat bagi para pembaca khususnya yang belum selesai dengan luka lamanya. Sudahkah kita mengampuni hari ini? See you on my next post readers!
“Bara api itu sudah seharusnya kamu lepaskan agar kamu sendiri tidak terbakar. -MD”
NOTE
This is NOT a Sponsored Post. All things that are written in this blog post are my own opinions and my honest experience. Do not copy my blog or my photos, if you want to use my blog or my photos please ask my permission by email and credit the copy page or image back to my blog.
iya sih kadang walau udah berusaha maafin suka masih keinget inget sakitnya haha baperan
Wajar kok itu..kita bisa memaafkan tapi ga bs langsung melupakan. Hanya saja jangan sampai berbuat dosa dengan membalasnya lagi 🙂