Bulan lalu saya pergi ke pameran seni kecil di daerah Blok M. Kebetulan saya hari itu juga ada urusan ke daerah Jakarta. Siangnya saya juga ada janji sama adek kelas saya, Connie yang kerja dekat daerah situ. Saya pikir sayang kalau saya siangnya langsung kembali ke Bekasi padahal perjalanan ke Jakarta juga cukup memakan waktu. Setelah makan siang saya langsung memutuskan untuk pergi ke daerah Blok M untuk mengunjungi sebuah pameran seni.
Siapa yang disini suka mengambil foto dengan kamera atau hp? Sayaaa… Saya termasuk orang yang senang mengambil foto ketika saya sedang jalan ke suatu tempat meski saya bukanlah seorang Fotografer. Foto yang saya ambil juga lebih banyak untuk koleksi pribadi saya semata. Saya juga selalu membawa kamera pocket di tas saya untuk mengantisipasi kalau sewaktu-waktu saya perlu mengambil foto. Konon katanya kamu bisa mengetahui apa yang dianggap paling berharga atau bermakna bagi seseorang melalui apa yang orang itu abadikan dalam sebuah foto. Bila gambar mengungkapkan beribu kata, foto cenderung bisa mengungkapkan beribu rasa. Baik rasa yang pernah ada, masih ada atau yang selalu ada *jadi galau sendiri nulisnya. Terlepas orang tersebut merupakan forografer profesional atau bukan, sebuah foto biasanya dibuat dengan berbagai alasan-alasan termasuk alasan yang personal. Lima orang yang mengikuti Pameran Baur Rasa ini memamerkan foto-foto mereka untuk bercerita kepada pengunjung.
Saya datang sekitar siang menjelang sore ke Kedai Kopi Djule. Kedai kopi ini terletak persis di pinggir jalan besar. Kedai kopi ini tidak mempunyai tempat parkir sendiri, jadi saya harus memarkir kendaraan di dalam tempat parkir Plaza Blok M. Saya sampai di Kedai kopi tersebut dengan berjalan kaki dari tempat parkir. Waktu saya datang, kondisi di dalam kedai kopi ini lumayan sepi. Saya di arahkan ke lantai dua kedai kopi ini ketika pelayan tahu bahwa saya ingin mengunjungi pameran seni. Saya disambut oleh Ibu Ani yang merupakan salah satu seniman yang ikut serta dalam pameran tersebut. Ibu Ani juga menemani saya sambil menjelaskan satu persatu karya foto yang dipamerkan oleh empat orang lainnya.
Pertama kali masuk, saya disuguhkan sebuah meja kerja yang diatasnya berserakan foto-foto hasil karya Gabriel Sena. Foto-foto yang ditampilkan berupa foto-foto koleksi pribadi dari momen-momen menyebalkan yang Sena alami. Karya ini sebenarnya lebih menekankan bahwa sebaik apapun kita merencakan hidup kita, akan selalu ada momen-momen menyebalkan yang terjadi tanpa bisa diprediksi, namun begitulah hidup. Hal paling penting adalah bagaimana kita menyikapi momen tidak terduga itu. Banyak koleksi foto yang membuat saya kesal, gemas dan juga tertawa karena foto tersebut berisi kejadian konyol yang dialami oleh si seniman.
Tak jauh dari meja tadi saya lanjut ke karya berikutnya. Karya dari Gloria Pearl ini menyuguhkan foto-foto dari benda-benda pemberian orang terdekatnya. Ternyata benda-benda tersebut mempunyai kenangan berarti antara si pemberi dan si penerima meskipun si pemberi sudah tiada. Benda-benda tersebut seperti momento yang membuat si seniman bisa merasakan kembali rasa yang pernah ia rasakan dan juga mengingatkannya dengan si pemberi barang. Benda pemberian memberikan rasa pada waktu tertentu di masa lalu yang bisa membuat si penerima mengingat rasa dan momen tersebut.
Saya melanjutkan langkah saya ke hasil karya dari Imron Zuhri. Imron memamerkan foto-foto dan beberapa barang kepunyaan ibunya. Karya ini sebagai cara Imron menenangkan dirinya dan berdamai dengan masa lalu. Imron memiliki hubungan yang naik turun dan banyak kesalah pahaman dengan ibunya, serta rasa-rasa yang belum ia ungkapkan sampai akhir hayat ibunya. Memandangi foto-foto mendiang ibunya menjadi obat dan doa tersendiri bagi Imron. Ketika saya melihat apa yang dipamerkan oleh Imron saya tentu teringat akan ibu saya sendiri. Sering kali sebagai anak kita sering cek cok dengan orang tua kita, namun karya ini juga mengingatkan saya akan ketakutan saya paling dalam yaitu ditinggalkan oleh orang tua saya. Sebanyak apapun perbedaan pendapat antara kita dan orang tua, kehilangan mereka akan jadi duka besar bagi kita. Barang-barang pribadi ibunya yang dipamerkan juga seolah-olah mengingatkan saya bahwa orang yang diceritakan ini pernah ada dan hidup.
Saya beralih ke foto-foto karya Tandika yang kebetulan orangnya juga ada bersama saya di pameran tersebut. Tandika mengabadikan foto-foto ayah ibunya yang sedang beraktivitas dirumah. Ide ini diambil ketika ia balik ke rumahnya dan melihat foto-foto pernikahan ayah ibunya semasa muda dulu. Tandika mengambil foto ayah ibunya pada masa sekarang. Ternyata meski raga mereka telah tua, rasa dan keharmonisan masa lalu mereka masih terlihat dari foto-foto mereka berdua. Tandika juga sempat cerita ke saya bahwa ia pernah merasa kehilangan akan makna orang tua karena ia hidup merantau ke Jakarta. Tentu saya bisa mengerti maksudnya, meski saya hanya merantau dari daerah Jabodetabek ke Jakarta, namun rasanya ada yang hilang dari diri saya.
Saya sampai pada hasil karya terakhir pada pameran seni yang terletak di bagian pojok ruangan. Hasil karya tersebut merupakan milik bu Ani yang dari tadi sudah menemani saya melihat karya-karya sebelumnya. Saya masuk ke ruangan kecil yang di pisahkan oleh sekat. Ruangan tersebut memang sengaja di buat redup hanya dengan beberapa lampu tambahan yang menyala. Saya memlihat banyak barang-barang pribadi milik seseorang di meja paling pojok. Saya juga melihat barang khas yang biasanya digunakan seseorang yang sedang sakit. Saya duduk di kursi yang disediakan sambil menonton foto-foto yang berlalu perlahan-lahan dari layar TV. Banyak foto-foto yang lokasinya diambil di rumah sakit. Saya sendiri hanya terdiam ketika menyaksikan gambar hitam putih itu berlalu di layar TV.
Bu Ani juga menceritakan tentang makna foto-foto yang ia ambil. Semua foto tersebut adalah foto yang diambil ketika ia menunggu suaminya di rumah sakit. Ibu Ani bilang bahwa semua benda kenangan yang tidak sempat suaminya pakai, masih ia simpan. Semua benda tersebut adalah benda yang menemaninya selama ia menunggu masa kritis suaminya. Saya hanya terdiam sambil mendengarkan cerita Ibu Ani. Rasa duka seperti masih begitu dekat, namun begitu juga dengan rasa ikhlas yang tergambar dari tulisan-tulisan Ibu Ani. Karya Ibu Ani sendiri mengingatkan saya akan sebuah rasa kehilangan yang pernah saya rasakan beberapa kali, ketika saya merelakan orang yang saya kasihi. Beberapa menit mendengar cerita Ibu Ani membuat saya terasa begitu dekat dengan beliau, seperti rasanya saya berbagi rasa duka kehilangan itu bersama-sama.
Minum di Kedai Kopi Djule
Selesai saya mengucapkan terima kasih dan berpamitan kepada Ibu Ani dan Tandika, saya menuju ke lantai satu dari Kedai Kopi Djule. Kebetulan saya juga ingin bersantai sebentar di Kedai Kopi sebelum akhirnya saya pulang ke rumah. Saya memesan cokelat dingin dan kue tart kecil untuk jadi cemilan saya siang itu. Ternyata minuman selain kopi disediakan dalam bentuk botol yang sudah disimpan di lemari es untuk pengunjung.
Saya duduk sambil menikmati pemandangan Kedai Kopi tersebut. Tak seperti kebanyakan Kedai Kopi yang lebih menekankan nuansa redup, Kedai ini justru memiliki jendela yang banyak sampai lantai dua. Hal ini membuat cahaya matahari yang natural masuk dengan baik ke dalam ruangan. Saya mengambil foto sekitar jam 3 sore dan cahaya ruangan masih sangat baik untuk mengambil foto. Jendela besar yang merupakan sisi depan Kedai Kopi ini menjadi spot pemandangan yang menarik. Saya duduk sambil mengamati mobil lalu lalang dan juga mengamati Bajaj yang sedang menunggu penumpang. Bagian sisi dalam Kedai Kopi lebih redup dengan pencahayaan berwana kuning. Sama seperti Kedai Kopi pada umumnya, kesan ruangan terasa nyaman karena material kayu, beton dan bata yang digunakan pada ruangan. Hal yang paling menarik buat saya yaitu lampu besar di tengah ruangan Kedai Kopi ini yang terbuat dari kepingan keramik. Lampu yang bersifat sebagai dekorasi ini membuat kesan megah pada ruangan.
Kedai kopi ini lebih banyak menyediakan menu kopi dan snack ringan. Minuman non kopi pilihannya tidak terlalu banyak. Menu makananya juga tidak terlalu banyak. Saya pikir Kedai Kopi ini memang lebih dikhususkan untuk minum kopi. Rasa minuman cokelat yang saya pesan sih enak, pahit cokelatnya masih terasa ketika saya minum jadi manisnya pas menurut saya. Kue cokelat yang saya pesan juga enak. Harga minuman dan makanan di Kedai Kopi ini lumayan mahal menurut saya. Saya habis sekitar 100 ribu untuk minuman cokelat dan potongan kue tart. Kalau soal kopi mungkin saya ga bisa komentar karena saya bukan pecinta kopi namun melihat menu di sini lebih mengutamakan menu minuman kopi, seharusnya minuman kopinya sudah seharusnya enak.
Tak berapa setelah kue saya habis, saya memutuskan untuk pulang ke rumah. Kedai kopi ini sangat cocok untuk nongkrong dan berlama-lama bersama teman. Atmosfer yang diciptakan memang membuat saya cukup betah. Meski terletak di pinggir jalan, namun pemandangan ke arah jalan malah jadi pemandangan yang menarik. Pencahayaan di Kedai Kopi ini oke untuk mengambil foto karena lebih banyak mengutamakan cahaya natural dari matahari. Ada yang sudah pernah ke Kedai Kopi Djule? See you on my next post readers!
NOTE
This is NOT a Sponsored Post. All things that are written in this blog post are my own opinions and my honest experience. Do not copy my blog or my photos, if you want to use my blog or my photos please ask my permission by email and credit the copy page or image back to my blog.
keren2 hasil karyanya
iya mas ahmad karya pamerannya bagus bagus 🙂