
Pagi itu saya bangun dengan keadaan badan yang terasa sakit, sensasi yang sedang sering saya hadapi beberapa bulan ini. Tiap kali saya kelelahan, badan saya terutama bagian punggung ke kaki seolah-olah berontak memberitahu saya akan batas paling maksimal mereka. Pelan-pelan saya bangun dari kasur saya yang berada di lantai.
Pasca fisioterapi dua bulan lalu, saya terlanjur terbiasa tidur di lantai. Badan saya malah sering pegal-pegal kalau tidur di kasur biasa yang empuk. Bergerak keluar dari kamar, saya membuka pintu balkon lantai 2 rumah saya yang menghadap ke bangunan tidak selesai di sebelah rumah.
Rumah sebelah saya merupakan rumah tak selesai dibangun yang akhirnya ditumbuhi pohon-pohon dan lumut. Bagi saya bangunan tersebut terlihat cantik seolah-olah sengaja ditinggal untuk ditaklukan oleh alam. Spot pemandangan ini pun pernah saya gunakan untuk mengambil suatu foto produk yana saya review.
Angin sepoi-sepoi mulai menyapa saya. Bau pepohonan dan dedaunan menghanyutkan saya pagi itu. Sekejap beberapa memori di ingatan saya kembali muncul. Seolah-olah bau dedaunan hari ini sama dengan tempat yang dulu pernah saya kunjungi beberapa kali.
“Saya pernah sesadar itu, sepengharapan itu,
senyata itu, saya yang dulu..”
Memori-memori itu mengingatkan saya akan sosok saya yang pernah saya kubur karena begitu banyak kekecewaan yang datang bersamaan. Sosok itu terkubur dengan mimpi-mimpi yang saya pikir tidak akan terjadi. Sekarang yang tersisa hanyalah sosok saya yang bertahan beradaptasi dengan dunia orang dewasa.
Tak terhitung berapa kali saya berusaha untuk menyelesaikan masalah saya sendiri mulai dari pekerjaan dan hubungan. Berbagai masalah saya simpan dalam hati. Saya pikir saya harus terbiasa menjadi “orang dewasa” tanpa pernah berpikir.
Saya kurang enak badan hari itu sehingga sehabis sarapan, saya lebih memilih untuk diam di dalam kamar. Sekejap seluruh pikiran-pikiran tentang pekerjaan, karir, dan masa depan memenuhi pikiran saya bertubi-tubi. Rasanya meski badan ini bersantai, pikiran saya berputar-putar terus tanpa henti bahkan terkadang dibumbui ketakutan terburuk saya akan masa depan.
Seminggu sebelum natal adalah puncak keletihan saya terhadap perasaan hampa yang saya rasakan. Ntah mengapa semesta membuat saya melihat event dari sebuah lembaga yang turut ambil andil dalam mendukung kesadaran akan kesehatan mental di Indonesia. Tanpa menunggu lama saya langsung daftar dan melakukan pembayaran untuk ikut event tersebut.
Saya datang hari itu sebagai peserta. Saya mendengarkan setiap sesi yang diberikan dari acara tersebut. Para peserta lain tampak frontal menceritakan kisah mereka saat sesi tanya jawab. Tak jarang saya dan peserta lain terdiam mendengarkan kisah lama dari beberapa peserta pada sesi tanya jawab.
“Saya merasa tidak sendiri”, gumam saya selama mengikuti acara. Ternyata begitu banyak orang yang juga mengalami pergulatan lama dengan luka-luka batin mereka yang belum kunjung sembuh. Saya tidak perlu memasang senyum manis seperti yang saya lakukan saat saya bertemu rekan kerja, keluarga ataupun di lingkaran pertemanan saya.
Orang dewasa sering kali dituntut tegar menghadapi masalah mereka meski membawa berbagai duka. Kita dituntut mengurus masalah kita sendiri atau kita gagal jadi orang dewasa. Ternyata menghadapi berbagai masalah setelah dewasa tidaklah mudah.
Sesi terakhir ditutup dengan belajar meditasi oleh salah satu pembicara. Sementara pembicara terus menuntun peserta di tahap ini, kami di beri instruksi untuk memeluk diri kami sendiri sambil menutup mata. Tangis –tangis para peserta mulai pecah saat sesi itu, namun tidak demikian dengan saya. Susah rasanya terkoneksi dengan emosi terdalam saya di depan umum.
Setelah acara selesai, diadakan sesi konsultasi bagi yang telah membayar tiket acara plus sesi konsultasi dengan konselor. Saya kebetulan mengambil paket lengkap acara tersebut. Setelah akhirnya giliran saya yang masuk ke ruangan konselor, tangis saya pun mulai pecah. Air mata mulai turun mengaliri pipi saya, sesuatu yang sebenarnya saya sudah tunggu dari dulu, untuk bisa menangis sepuasnya.
Saya menceritakan keluh kesah saya, pengalaman trauma saya, luka-luka batin dan ketakutan-ketakutan yang membayangi saya selama ini. Perubahan-perubahan drastis yang datang berkali-kali di tahun ini yang mau tidak mau mengoreskan luka di hati saya. Tentang seseorang yang sulit saya lepaskan. Tentang sumber-sumber trauma yang terus saya datangi lagi meski saya tahu hasilnya hanya akan menyakiti saya.
Mata konselor saya berkaca-kaca selama mendengarkan saya bercerita. Ia juga mengambilkan saya tissue agar saya bisa menampung air mata yang terus membanjiri pipi saya. Dengan sabar, ia terus mengingatkan saya untuk mencintai diri saya sendiri dalam proses merelakan segala sesuatu yang sudah melukai hati saya.
“Ada orang-orang yang sampai terlalu terbiasa sakit sehingga ia terus datang ke sumber trauma tersebut, karena menurutnya jika ia sakit maka ia hidup.”
Saya tersentak mendengar nasihat dari konselor saya. Betapa sering kali saya melakukan hal yang sebenarnya menyakiti saya, namun saya lakukan karena mulai terbiasa dengan rasa sakit itu. Bagi saya hidup itu harus sakit. Saya tidak sadar bahwa kesakitan dan luka batin bisa menjadi candu bagi seseorang.
Selesai sesi konseling, saya mulai bisa mengontrol emosi saya. Tangisan saya berubah menjadi kelegaan. Konselor saya pun mendengarkan saya sampai selesai. Tak lupa ia memberi saya semangat untuk lebih lebih mencintai diri saya sendiri selama proses penyembuhan. Tidak lupa juga mengingatkan saya untuk tidak buru-buru memaksakan diri untuk segera merelakan, karena merelakan pun butuh waktu.
Sampai hari ini saya berusaha untuk menikmati proses untuk sembuh dari luka-luka batin yang pernah saya alami. Ternyata bangkit dari trauma sebagai orang dewasa tidak mudah. Saya bahkan tidak sadar sudah membiarkan lama segala luka dan trauma ini, sampai saya di tahap susah untuk mengeluarkan emosi-emosi tersebut.
Bagi kalian yang sedang membaca artikel ini dan merasa mengalami hal yang sama, saya harap kalian lebih mencintai diri kalian selama proses mengikhlaskan. Semoga artikel menguatkan kalian dan juga memberikan keberanian bagi kalian untuk mencari bantuan professional jika diperlukan. Remember to always be honest with yourself.
FOR MORE INFORMATION
Instagram : @ibunda.id
Website : www.ibunda.id
NOTE
This is a Not Sponsored Post. All things that are written in this blog post are my own opinions and my honest experience. Do not copy my blog or my photos, if you want to use my blog or my photos please ask my permission by email and credit the copy page or image back to my blog.
Kayaknya aku perlu ikutan sesi konseling kayan mona, biar bisa melupakan dan memaafkan… Peluk hangat dari jauh, dan makasih buat tulisannya :-*
waaa..aku baru pertama kali ikutan konseling di event juga mbak san. Beberapa event dari ibunda.id…ikut aja mbak sann, ga ada salahnya ikut event atau konseling jika memang diperlukan :”)..awalnya aku juga agak malu karena ketemu banyak orang tapi akhirnya malah jadi kenalan sana sini hehehe. Peluk hangat dari jauh juga, terima kasih sudah mampir ke blogku :’)
Monaaa!! Terima kasih sudah berbagi, super cinta sama postingan ini berasa ikutan konseling juga :)) Keep inspiring Mon <3
aaaaa..qiqi thank youuu sudah mampir blogkuu :’)..keep inspiring juga ya qi!
Mona, whatever you’re battling for, keep fighting! Tetap semangat dan terus belajar mengikhlaskan, seperti yang aku jalani. Susah memang tapi apa salahnya terus dicoba.
Hi Winaaa! thank you untuk penyemangatnyaa..Wina juga semangat dengan perjuangannya :”)..iya betul, ga ada salahnya terus mencoba ikhlas. Thank you Winn