Ketika saya masih kecil, menangis di depan umum bukanlah pilihan yang baik bagi saya. Ketika saya berlaku nakal dan di pukul, Ibu saya pun makin menyuruh saya untuk tidak menangis. Entah mengapa hal tersebut masih membekas di dalam ingatan saya, seolah-olah menangis adalah sesuatu yang dilakukan oleh orang yang lemah dan cengeng padahal hal tersebut tidak dapat langsung dikategorikan seperti itu.
Semakin dewasa tentu tentu saya semakin jarang nangis di depan umum bahkan mungkin ga pernah, yaiyalah selain malu adanya malah ditatap heran dan aneh sama orang-orang sekitar. Saya juga sebenarnya bukan tipe yang suka marah-marah di depan umum, namun jika saya marah , saya pastikan hal tersebut memang sudah diluar batas tolerir saya terhadap kelakukan yang menurut saya kurang ajar. Jika saya tidak suka dengan seseorang ya saya diem saja dan berusaha menghindar daripada saya harus keluar kata-kata kasar yang saya sendiri tidak sadari bisa melukai orang lain dengan sangat dalam.
Menangis, cemas, marah, galau sering dikaitkan dengan emosi negatif padahal sebenarnya semua emosi merupakan pemberian Tuhan kepada manusia. Mungkin emosi tersebut bisa dikatakan negatif jika merugikan orang lain dan diri sendiri. Semakin dewasa, memang orang jarang sekali menunjukkan emosi sedih, cemas dan sebagainya karena terkesan sangat privasi.
Saya pernah mengalami kejadian kurang menyenangkan ketika saya sedang curhat, seperti orang tersebut bosan dengan curhatan saya yang berisi keluhan dan masalah-masalah saya. Saya pikir wajar toh semua orang punya masalah sendiri dan mungkin orang tersebut memang lagi malas mendengar curhatan saya yang dianggap negatif. Namun hal tersebut menyadarkan saya bahwa emosi negatif memang sangat personal sangking personalnya mungkin tidak semua orang bisa memiliki connection dalam bentuk empati kepada kita jika tidak dekat secara pribadi dengan kita.
Pada tahap tersebut saya merasa diri saya hanyalah pribadi yang membosankan karena orang yang mendengar curhatan saya jadi malas dan bosan mendengar saya berkeluh kesah. Sejak itu jadi cuek bebek dengan perasaan saya maupun untuk mengungkapkan apa yang saya rasa ke orang terdekat #jadisensitif. Sampai suatu saat saya teringat pada kalimat yang ada pada buku yang pernah saya baca.
“ ….People often choose to numb their pain with substances, but it’s more courageous to walk through the fire with your eyes open. Instead of numbing my pain by using, I let myself feel all of the emotions that came to me. It was difficult time in my life, but allowing myself to feel sadness and despair helped give way for the celebration of his life. It allowed me to begin healing in healthy and honest fashion.” (Demi Lovato, 2013)
Banyak orang dewasa memilih untuk tidak merasakan emosi-emosi negatif tersebut namun yang terjadi adalah penyangkalan terhadap apa yang dirasakan. Ketika saya berada dalam kondisi down, saya memilih untuk menghadapi semua emosi tersebut sendiri (tentunya tidak saya umbar ke orang-orang lagi) dan membiarkan emosi tersebut mengalir melalui diri saya. Saya tidak ingin jadi pengecut yang tidak bisa menghadapi emosi saya sendiri. I just feel like I’m really human when I let all emotions flow through me. Even when I decide to share this emotion, I choose to share with God or someone who really close and care for me because it’s really personal emotions. Setelah emosi-emosi tersebut keluar, emosi lain lebih mudah masuk untuk menggantikannya yaitu mulai dari emosi lega, tenang, dan bahagia. Menjadi vulnerable tidak selamanya berarti menjadi ringkih dan lemah.
Ketika seseorang teman dekat menceritakan kecemasan dan masalahnya, saya tidak kaget maupun ogah-ogahan, karena saya pernah merasakan hal tersebut. Bagi saya ketika seseorang menceritakan tentang perasaan dan emosi negatif yang dialaminya kepada orang lain, hal tersebut merupakan suatu bentuk kepercayaan, like I said before it’s personal emotions, if they share it with you that means they trust you.
Saya tidak lagi bertanya-tanya ketika saya mengalami masa-masa down dan buru-buru mengalihkan pikiran saya, I let those emotions flow through me so I can heal. Saya juga merasakan ketika saya sedih dan kecewa merupakan saat-saat saya lebih khusuk berdoa kepada Tuhan. I know God close to the brokenhearted and saves those who are crushed in spirit. Saya belajar menerima bahwa seluruh emosi yang saya miliki adalah bagian dari saya sebagai manusia dan seharusnya saya tidak perlu merasa malu terhadap hal tersebut. I should be real, not be perfect.
Life can be so difficult at times, but fighting through the pain is so worth it. It’s better to feel every kind of emotion than not feel at all (Staying Strong, 2013)