Personal Thought : Hidup Tanpa Harapan

fff

Saya sempat tertegun ketika salah satu sahabat SMA saya berkata bahwa kita hidup karena mempunyai harapan. Awalnya saya biasa aja menanggapi hal itu sampai bulan lalu adik saya mendapatkan jawaban dari doa yang selama ini ia pinta. Setelah menganggur lama semenjak lulus, adik saya tidak putus-putusnya berdoa agar bisa diterima di sebuah Konsultan Hukum. Adik saya berharap dapat diterima di sebuah kantor konsultan hukum yang memang sesuai dengan nilai-nilai yang ia pegang selama ini. Tentu saja saya mendukungnya dalam doa. Saya juga turut senang dengan wajah puas adik saya tiap kali pulang kantor meskipun ia sangat lelah mengarungi kemacetan ibu kota.

Kejadian ini mengingatkan saya bahwa doa sebenarnya merupakan bentuk harapan kita akan hari esok yang kita sampaikan kepada Tuhan. Ketika kita malas untuk berdoa bisa jadi karena kita malas untuk berharap lagi untuk hari esok. Tentu hidup sudah seharusnya penuh harapan, setidaknya berharap bahwa hari esok masih ada. Saya memang sudah lama tidak meminta di dalam doa saya. Salah satu alasan mengapa saya malas meminta dalam doa, karena saya takut terlalu berharap dalam hidup dan berakhir kecewa dengan kenyataan yang terjadi.

Saya pernah mengalami masa-masa tanpa harapan dalam hidup. Saya malas untuk bangun di pagi hari karena saya merasa tidak ada sesuatu yang wah akan terjadi dalam hidup saya. Saya juga ingat betapa bosannya saya melalui setiap hari karena saya pikir hari ini akan sama saja dengan hari esok. Saya malas untuk meminta dalam doa saya karena saya lebih takut sia-sia meminta. Hidup tanpa harapan memang mudah untuk dilakukan. Hidup saja tanpa berharap. Hidup saja tanpa meminta dalam doa. Hidup saja tanpa menanti sebuah perubahaan atau menanti mimpimu untuk tercapai.

Dalam hidup ini, saya menemukan banyak orang yang memberi saya harapan namun saya juga menemukan orang-orang yang telah membuat saya enggan untuk berharap lagi. Mudah untuk menghancurkan harapan seseorang. Bilang saja kepada orang itu bahwa ia tidak layak untuk bermimpi. Bilang saja pada orang tersebut bahwa ia tidak layak mendapatkan apa pun dalam kehidupan, karir dan hubungan. Remehkan mimpinya sehingga ia tidak berani bermimpi lagi. Ambil keputusan atas hidupnya, supaya dia merasa dia tidak punya hak untuk memutuskan dalam hidupnya. Tutup mata saja atas kerja kerasnya selama ini, meski yang ia lakukan sudah yang terbaik. Buat ia merasa tidak berharga dengan kata-kata kasarmu, sehingga ia merasa hidupnya tidak berharga lagi. Bukankah hal-hal ini yang sering terjadi sebelum seseorang akhirnya memutuskan untuk bunuh diri?

Sangat mudah untuk membenci dan menghilangkan harapan seseorang. Semua orang bisa melakukannya. Hal ini bukan sesuatu yang hebat malah menurut saya hal yang remeh banget untuk bisa dilakukan. Semua orang bisa jadi haters, semudah membuat akun bodong di media social dan mengincar orang-orang yang terlihat bahagia di media social untuk dijadikan objek kebencian. Tapi apakah si pembenci di ingat? Mungkin diingat, namun hanya sekedar sebagai penyebar kebencian.

Butuh usaha untuk menumbuhkan harapan di diri setiap orang yang sudah hidup tanpa harapan. Butuh kerja keras untuk membuktikan bahwa sebenarnya kita bisa maju dan berubah. Butuh keringat untuk membangun apa yang sudah rusak menjadi sesuatu yang berguna dan berharga lagi. Butuh semangat yang membara untuk membangkitkan semangat-semangat lain yang sudah padam sejak lama.

Malam kemarin saya yang sedang surut harapan ini, justru berdoa dan menangis untuk seseorang yang saya tidak kenal. Saya hanya tahu kerja kerasnya selama ini dari apa yang media sampaikan dan dari hasil kerjanya yang saya nikmati sebagai rakyat ketika saya jalan ke Ibu Kota. Belum pernah saya segitu perhatiannya dengan perkembangan di negara ini sebelum sosok ini muncul. Saya sedih ketika sosok ini dituduh atas tuduhan yang sebenarnya dibuat-buat saja. Mungkin ada yang tidak senang kalau bangsa ini pada akhirnya mempunyai harapan untuk berkembang dan maju.

Perbedaan memang sudah ada di negara ini sejak dulu, namun bukan berarti hal itu menjadi masalah yang harus dibesar-besarkan untuk suatu kepentingan politik. Selama saya hidup saya berusaha untuk menghormati segala perbedaan selayaknya saya ingin di hormati. Saya masih mengingat guru les bahasa inggris semasa SMA dulu yang beragama muslim, pernah menyidang salah satu teman les saya yang dengan frontal menghina teman les lain yang berdarah Tionghoa.

Beragam kata-kata kasar berbau sara ia lontarkan dengan pedenya kepada teman saya yang merupakan keturuan Tiong Hoa, pada saat kami sedang dalam proses belajar mengajar di tempat les. Padahal teman saya yang berdarah Tiong Hoa ini ga pernah nyinggung dia sama sekali. Kalau bisa dibilang sih hampir satu kelas ga suka sama orang ini yang tiba-tiba suka mengejek orang tanpa sebab. Saya bersyukur guru saya tegas waktu itu menyidang temen saya yang bandel itu di depan kelas, karena menurut guru saya, ia tidak ingin teriakan menyudutkan ras tertentu itu ditiru oleh anak-anak yang lain.

Salah satu sahabat SMA saya ada yang beragama muslim. Sampai sekarang saya banyak belajar dari sahabat saya tersebut. Ga pernah tuh kami ribut karena urusan agama. Salah satu sahabat semasa saya kuliah juga adalah seorang penganut Budha yang taat. Saya sering bertukar pikiran dengannya termasuk soal agama kami masing-masing. Pasti ada perbedaan pendapat diantara kami berdua, namun bukan berarti saya harus berteriak karena ia mempunyai pandangan yang berbeda. Setiap agama tentu mempunyai ajaran yang berbeda, namun satu hal yang kami terus pegang yaitu saling menghormati dan mengasihi satu sama lain di atas perbedaan tersebut. Lagipula agama adalah tentang hubunganmu dengan Tuhan dan bagaimana kamu memperlakukan sesama dengan baik, bukan tentang apa yang orang lain katakan tentang agamamu.

Seribu Bunga untuk Pak Ahok
Seribu Bunga untuk Pak Ahok

Saya terharu melihat siaran berita kemarin malam dimana banyak orang dari berbagai suku, agama dan ras berkumpul untuk menyalakan lilin pengharapan. Hukum negara ini memang sudah banyak timpang, bukan hanya pada kasus yang belakangan ini terjadi namun juga kasus-kasus yang sudah pernah terjadi sebelumnya di negara ini. Saya sedih menanggapi fenomena yang sudah terjadi. Saya juga sempat tidak semangat beberapa hari karena fenomena tersebut. Hanya saja saya masih mengingat sosok tersebut yang masih dengan sabar tersenyum dan tidak melawan ketika di bawa ke tempat penghukuman, mengingatkan saya akan Sosok Besar yang 2.000 tahun lalu yang pernah mengalami hal lebih berat dari ini.

Teruntuk Putera Bangsa…

yang raganya terkurung di balik jeruji besi,

Bapak mungkin ga kenal saya, ga perlu juga sih pak untuk mengenal saya. Saya cuma rakyat jelata yang mungkin belum ada kontribusi apa-apa bagi negara ini, namun saya kirimkan doa saya yang tulus untuk Bapak di sana. Saya harap Bapak tidak kehilangan harapan Bapak ditengah-tengah bangsa yang sedang hilang arah ini dan ditengah-tengah bangsa yang masih memilih membesar-besarkan hal yang sebenarnya ga perlu daripada membangun Negara. Saya berdoa agar Tuhan memberikan penghiburan terhadap Bapak di sana karena saya yakin damai sejahterah merupakan pemberian Tuhan bukan pemberian manusia yang fana. Terima kasih Pak untuk kerja kerasnya dan teladan hidup yang Bapak berikan selama ini, untuk bekerja dengan tulus meski di cemooh, menerima dengan sabar meski orang lain mereka-rekakan kejahatan dan dengan tetap teguh berharap kepada Tuhan. Terima kasih sudah menyalakan lilin dan harapan bagi kami di saat bangsa ini kehilangan harapan. Terima kasih untuk mengajarkan kami bahwa seorang pemimpin adalah teladan bagi orang lain dan bukannya hanya soal memiliki kekuasaan. Semoga suatu saat saya bisa bertemu dengan Bapak dan keluarga agar saya bisa lebih banyak belajar dari Bapak.

Tuhan menyertai Bapak selalu. Amin.

Tulisan ini saya buat bukan untuk membesar-besarkan masalah. Saya yakin semua berhak mengungkapkan pendapatnya dengan bijak tanpa perlu memaksakan kehendak. Saya yakin tidak usah berkoar-koar negatif jika pendapat orang berbeda denganmu. Sosok yang saya ceritakan sudah begitu berjiwa besar menerima hukuman yang dijatuhkan padanya, jika memang ada beberapa orang yang masih belum puas juga, saya rasa sudah seharusnya orang tersebut memeriksa hatinya sendiri. Keputusanmu sendirilah untuk masih memelihara sakit hati dan kebencian bukan karena orang lain lagi. Mintalah Tuhan memeriksa hatimu karena seorang manusia tidak mampu memeriksa hatinya sendiri dengan benar.

Ga perlu juga berpikir saya ingin famous dengan menulis artikel ini, ga perlu kamu mengenal saya. Saya sudah bahagia dengan memiliki sedikit teman yang benar-benar mengenal saya. Saya hanya berdoa pesan damai ini tersampaikan. Teriring doa saya juga untuk Gubernur yang terpilih semoga bisa banyak belajar dari pemimpin sebelumnya dan bisa bekerja lebih lebih baik lagi. Peran-mu sekarang berat Pak, karena sebelum dirimu sudah ada seorang pemimpin besar yang menyentuh banyak hati dengan ketulusan dan kerja kerasnya.

“Mintalah Tuhan memeriksa hatimu karena seorang manusia tidak mampu memeriksa hatinya sendiri dengan benar.”

Saya memilih mencintai perbedaan. Saya memilih menghormati perbedaan tanpa perlu memaksakan sesuatu kepada orang yang berbeda dengan saya. Saya memilih pengampunan daripada dendam. Saya memilih bersabar daripada reaktif. Saya memilih Indonesia yang penuh toleransi antar suku, ras dan agama.

NOTE

This is NOT a Sponsored Post. All things that are written in this blog post are my own opinions and my honest experience. Do not copy my blog or my photos, if you want to use my blog or my photos please ask my permission by email and credit the copy page or image back to my blog.

One thought on “Personal Thought : Hidup Tanpa Harapan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *