Mengemis Empati

SAM_4462 resize

Bulan Februari ini bisa dibilang bulan yang tidak terduga, keluarga saya mengalami satu musibah yang sempat membuat keluarga saya cukup trauma. saya ga akan panjang lebar tentang musibah tersebut di blog ini karena fokus tulisan ini bukan untuk hal itu. Alasan lain kenapa saya tidak akan bahas musibah tersebut karena hal ini masih dalam ranah sangat privasi khususnya bagi keluarga saya. Pasca musibah tersebut juga sempat membuat keluarga saya cukup shock beberapa hari setelahnya, namun saya masih bersyukur bahwa keluarga saya tetap dalam keadaan sehat dan selamat.

Saya juga cukup mengambil banyak waktu diam saat itu, karena masih mengalami perasaan campur aduk beberapa hari setelahnya. Saya juga sempat bimbang ketika mau berdoa, jujur saya capek menanyakan “Mengapa” kepada Tuhan. Saya pikir segala sesuatu mau yang baik maupun buruk tidak harus dapat dimengerti saat itu juga. Saya juga memilih fokus menenangkan pikiran saya daripada kebanyakan mikir yang berujung jatuh sakit. Saya berkali-kali menyakinkan diri saya bahwa Tuhan tahu yang terbaik, titik tanpa koma dan tanpa perlu saya menambah panjang barisan doa saya. Saya juga hanya menceritakan masalah ini khusus ke beberapa inner circle saya yang paling terdekat dan itupun dengan tujuan memohon doa agar saya dan keluarga dikuatkan.

Setahun ini memang saya membiasakan diri untuk tidak gembar gembor cerita panjang lebar kesana kesini. Saya juga tidak mau heboh pasang status di Medsos ketika perasaan saya sedang campur aduk daripada hal tersebut malah menjadi tindakan makan tuan sendiri bagi saya. Saya belajar untuk tidak buru-buru bercerita dan membiasakan diri untuk mengambil momen privasi untuk perasaan campur aduk yang dirasakan. Saya ga mau seolah-olah “mengemis empati” dengan kejadian-kejadian sedih yang saya ceritakan apalagi menceritakannya ke sembarang orang.

Saya pernah mengalami trauma dengan respon balik yang diberikan oleh beberapa orang di dalam hidup saya terdahulu. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya respon balik yang ternyata justru menyakiti, saya mengerti mungkin tidak semua orang siap dihujani dengan cerita-cerita buruk atau curhatan perasaan negatif yang dirasakan seseorang. Tidak semua orang siap dengan hal yang kita ungkapkan dengan gamblangnya saat itu juga. Saya semakin maklum di jaman serba sibuk ini semua orang jadi serba sensitif karena begitu banyaknya persoalan dan kesibukan sehari-hari namun sedikitnya waktu berdiam.

Satu hal yang menjadi pengingat ialah Empati. Empati adalah cara kita terkoneksi dengan orang lain. Ketika saya ingin terhubung secara emosi kepada beberapa orang di dalam lingkaran pertemanan saya. Beberapa mungkin akan memberikan empatinya sehingga terkoneksi dengan saya, sebagian mungkin hanya memberikan simpatinya dimana hal itu tidak saya anggap sesuatu yang salah, dan sisanya mungkin membangun tembok setinggi-tingginya agar tidak repot mengoneksikan diri dengan saya. Terlepas dari berbagai respon yang pernah saya terima. Saya tidak ingin terlalu capek memikirkan respon orang yang tidak peduli terhadap saya ketika saya sedang bercerita. Saya yakin semua orang punya hak mau dengan siapa mereka memberikan empati yang mereka punya. Saya juga tidak ingin lagi terlalu berekspektasi tinggi apalagi mengharapkan “sedekah empati” atau minta dikasihani.

Hal yang sering jadi pengamatan saya tentang empati di jaman serba digital ini ialah melalui komen di media social. Saya pernah begitu shocknya membaca banyak komen nyirnyir dan merendahkan dari banyak orang terkait berita sebuah mahasiswa yang ditemukan bunuh diri karena dugaan depresi sejak nilai kuliahnya menurun. Saya shock bukan main dengan komen-komen candaan dan nyirnyiran tentang mental tempe dari banyak orang. Saya pikir wow empati sudah hilang dari sebagian besar masyarakat kita, rest in peace humanity! Saya pikir saat ini dunia makin ga waras karena berita kematian malah dikomentarin dengan komentar-komentar tidak pantas untuk almarhum. Saya ga tahu sih standard dunia sekarang masih mengucapkan turut berduka cita lagi apa tidak untuk seseorang yang baru meninggal. Bagi saya standard dunia kadang terdengar gila, itu sebabnya apapun kejadiannya saya pasti selalu balik kepada standard yang Alkitab katakan karena itu pegangan saya dalam hidup. Kejadian tersebut namun membuka mata saya bahwa kita tidak pernah tahu respon balik dari seseorang apalagi seseorang yang tidak pernah kita kenal baik.

Semakin saya dewasa saya semakin menyadari besarnya dampak empati tersebut. Saya bisa membagi perasaan saya dengan orang lain. Dimana dari sebegitu banyak manusia yang memilih mendinginkan kasihnya sendiri, beberapa diantaranya memilih untuk terkoneksi agar kasih itu tidak padam. Saya merasa beruntung masih ada beberapa orang dalam hidup saya yang mau memberikan empatinya kepada saya ketika saya menghadapi masalah yang berat. Saya yakin mungkin saya pun bisa jadi salah satu dari orang-orang yang hatinya mulai dingin jika orang-orang tersebut tidak menyentuh hati saya dengan empati yang mereka berikan. Jadi masihkah saya mengemis empati? Jawabannya iya tapi khusus bagi yang memang siap memberikan empati yang ia punya. Terlepas dari mengemis empati, saya masih tetap setuju bahwa empati bukan sesuatu yang harus kita minta-minta seperti pengemis, namun harusnya sesuatu yang selayaknya kita dapatkan dari orang lain karena kita sama-sama manusia. I still don’t lose hope for humanity!

“All I ever wanted was to reach out and touch another human being not just with my hands but with my heart.”
Tahereh Mafi, Shatter Me

NOTE

This is NOT a Sponsored Post. All things that are written in this blog post are my own opinions and my honest experience. Do not copy my blog or my photos, if you want to use my blog or my photos please ask my permission by email and credit the copy page or image back to my blog.

2 thoughts on “Mengemis Empati”

    1. Iya mbak Vety, apalagi sejak aktif nulis di blog, saya juga jadi bener-bener mikir dua kali ttng tulisan yang akan di publish seperti ada beban moral jadinya. Benar mbak, ga semua memahami kita apalagi dalam lingkup medsos yang semua orang bisa ntah darimana saja melihat dan komen tanpa ada filter. Thanks sudah mampir mbak Vety 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *